Kamis, 11 November 2010

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten (Hak Paten) - Hukum Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2001
TENTANG
PATEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada
perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan teknologi,
industri, dan perdagangan yang semakin pesat, diperlukan adanya
Undang-undang Paten yang dapat memberikan perlindungan yang wajar
bagi Inventor;
b. bahwa hal tersebut pada butir a juga diperlukan dalam rangka
menciptakan iklim persaingan usaha yang jujur serta memperhatikan
kepentingan masyarakat pada umumnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut dalam huruf a
dan b serta memperhatikan pengalaman dalam melaksanakan
Undang-undang Paten yang ada, dipandang perlu untuk menetapkan
Undang-undang Paten yang baru menggantikan Undang-undang Nomor 6
Tahun 1989 tentang Paten sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor
57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PATEN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada
Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk
selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut
atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya.
2. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu
kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat
berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan
produk atau proses.
3. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang
yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam
kegiatan yang menghasilkan Invensi.
4. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan Paten.
5. Permohonan adalah permohonan Paten yang diajukan kepada Direktorat
Jenderal.
6. Pemegang Paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak
yang menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang
menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar
Umum Paten.
7. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual
8. Pemeriksa adalah seseorang yang karena keahliannya diangkat dengan
Keputusan Menteri sebagai pejabat fungsional Pemeriksa Paten dan
ditugasi untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap
Permohonan.
9. Menteri adalah menteri yang membawahkan departemen yang salah satu
tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang Hak
Kekayaan Intelektual, termasuk Paten.
10. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh
Menteri.
11. Tanggal Penerimaan adalah tanggal penerimaan Permohonan yang telah
memenuhi persyaratan administratif.
12. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang
berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for the
protection of Industrial Property atau Agreement Establishing the
World Trade Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal
penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara
tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu
selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah
ditentukan berdasarkan Paris Convention tersebut
13. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada
pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati
manfaat ekonomi dari suatu Paten yang diberi perlindungan dalam
jangka waktu dan syarat tertentu.
14. Hari adalah hari kerja.
BAB II
LINGKUP PATEN
Bagian Pertama
Invensi yang Dapat Diberi Paten
Pasal 2
(1). Paten diberikan untuk Invensi yang baru dan mengandung langkah
inventif serta dapat diterapkan dalam industri.
(2) Suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut
bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik
merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.
(3) Penilaian bahwa suatu Invensi merupakan hal yang tidak dapat
diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian
yang ada pada saat Permohonan diajukan atau yang telah ada pada
saat diajukan permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan
dengan Hak Prioritas.
Pasal 3
(1) Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan,
Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan
sebelumnya.
(2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia
atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau
melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang
ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum:
a. Tanggal Penerimaan; atau
b. tanggal prioritas.
(3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia
yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang
pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal
Penerimaan tersebut lebih awal daripada Tanggal Penerimaan atau
tanggal prioritas Permohonan.
Pasal 4
(1) Suatu Invensi tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaan:
a. Invensi tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran
internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau
diakui sebagai resmi atau dalam suatu pameran nasional di
Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi;
b. Invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh Inventornya
dalam rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan.
(2) Invensi juga tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum Tanggal Penerimaan,
ternyata ada pihak lain yang mengumumkan dengan cara melanggar
kewajiban untuk menjaga kerahasiaan Invensi tersebut.
Pasal 5
Suatu Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut
dapat dilaksanakan dalam industri sebagaimana yang diuraikan dalam
Permohonan.
Pasal 6
Setiap Invensi berupa produk atau alat yang baru dan mempunyai
nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi,
konstruksi, atau komponennya dapat memperoleh perlindungan hukum
dalam bentuk Paten Sederhana.
Pasal 7
Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang:
a. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau
pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang
diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau
d. i. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik;
ii. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau
hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis.
Bagian Kedua
Jangka Waktu Paten
Pasal 8
(1) Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun
terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat
diperpanjang.
(2) Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu Paten dicatat dan
diumumkan.
Pasal 9
Paten Sederhana diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat
diperpanjang.
Bagian Ketiga
Subjek Paten
Pasal 10
(1) Yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau yang menerima
lebih lanjut hak Inventor yang bersangkutan.
(2) Jika suatu Invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara
bersama-sama, hak atas Invensi tersebut dimiliki secara
bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan.
Pasal 11
Kecuali terbukti lain, yang dianggap sebagai Inventor adalah
seorang atau beberapa orang yang untuk pertama kali dinyatakan
sebagai Inventor dalam Permohonan.
Pasal 12
(1) Pihak yang berhak memperoleh Paten atas suatu Invensi yang
dihasilkan dalam suatu hubungan kerja adalah pihak yang memberikan
pekerjaan tersebut, kecuali diperjanjikan lain.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku
terhadap Invensi yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun pekerja
yang menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam
pekerjaannya sekalipun perjanjian tersebut tidak mengharuskannya
untuk menghasilkan Invensi.
(3) Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berhak
mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi
yang diperoleh dari Invensi tersebut.
(4) Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibayarkan:
a. dalam jumlah tertentu dan sekaligus;
b. persentase;
c. gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau
bonus;
d. gabungan antara persentase dan hadiah atau bonus; atau
e. bentuk lain yang disepakati para pihak;
yang besarnya ditetapkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
(5) Dalam hal tidak terdapat kesesuaian mengenai cara perhitungan
dan penetapan besarnya imbalan, keputusan untuk itu diberikan oleh
Pengadilan Niaga.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) sama sekali tidak menghapuskan hak Inventor untuk tetap
dicantumkan namanya dalam Sertifikat Paten.
Pasal 13
(1) Dengan tunduk kepada ketentuan-ketentuan lain dalam
Undang-undang ini, pihak yang melaksanakan suatu Invensi pada saat
Invensi yang sama dimohonkan Paten tetap berhak melaksanakan
Invensi tersebut sebagai pemakai terdahulu sekalipun terhadap
Invensi yang sama tersebut kemudian diberi Paten.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku
terhadap Permohonan yang diajukan dengan Hak Prioritas.
Pasal 14
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak berlaku apabila
pihak yang melaksanakan Invensi sebagai pemakai terdahulu
melakukannya dengan menggunakan pengetahuan tentang Invensi
tersebut dari uraian, gambar, atau keterangan lainnya dari Invensi
yang dimohonkan Paten.
Pasal 15
(1) Pihak yang melaksanakan suatu Invensi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 hanya dapat diakui sebagai pemakai terdahulu apabila
setelah diberikan Paten terhadap Invensi yang sama, ia mengajukan
permohonan untuk itu kepada Direktorat Jenderal.
(2) Permohonan pengakuan sebagai pemakai terdahulu wajib disertai
bukti bahwa pelaksanaan Invensi tersebut tidak dilakukan dengan
menggunakan uraian, gambar, contoh, atau keterangan lainnya dari
Invensi yang dimohonkan Paten.
(3) Pengakuan sebagai pemakai terdahulu diberikan oleh Direktorat
Jenderal dalam bentuk surat keterangan pemakai terdahulu dengan
membayar biaya.
(4) Surat keterangan pemakai terdahulu berakhir pada saat yang
bersamaan dengan saat berakhirnya Paten atas Invensi yang sama
tersebut.
(5) Tata cara untuk memperoleh pengakuan pemakai terdahulu diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Pemegang Paten
Pasal 16
(1) Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten
yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
a. dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor,
menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau
disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
b. dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi
Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam huruf a.
(2) Dalam hal Paten-proses, larangan terhadap pihak lain yang tanpa
persetujuannya melakukan impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan
dari penggunaan Paten-proses yang dimilikinya.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) apabila pemakaian Paten tersebut untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis sepanjang tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten.
Pasal 17
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1),
Pemegang Paten wajib membuat produk atau menggunakan proses yang
diberi Paten di Indonesia.
(2) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila pembuatan produk atau penggunaan proses tersebut hanya
layak dilakukan secara regional.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
disetujui oleh Direktorat Jenderal apabila Pemegang Paten telah
mengajukan permohonan tertulis dengan disertai alasan dan bukti
yang diberikan oleh instansi yang berwenang.
(4) Syarat-syarat mengenai pengecualian dan tata-cara pengajuan
permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
Untuk pengelolaan kelangsungan berlakunya Paten dan pencatatan
lisensi, Pemegang Paten atau penerima lisensi suatu Paten wajib
membayar biaya tahunan.
Bagian Kelima
Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Paten
Pasal 19
Dalam hal suatu produk diimpor ke Indonesia dan proses untuk
membuat produk yang bersangkutan telah dilindungi Paten yang
berdasarkan Undang-undang ini, Pemegang Paten-proses yang
bersangkutan berhak atas dasar ketentuan dalam Pasal 16 ayat (2)
melakukan upaya hukum terhadap produk yang diimpor apabila produk
tersebut telah dibuat di Indonesia dengan menggunakan proses yang
dilindungi Paten.
BAB III
PERMOHONAN PATEN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 20
Paten diberikan atas dasar Permohonan.
Pasal 21
Setiap Permohonan hanya dapat diajukan untuk satu Invensi atau
beberapa Invensi yang merupakan satu kesatuan Invensi.
Pasal 22
Permohonan diajukan dengan membayar biaya kepada Direktorat
Jenderal.
Pasal 23
(1) Apabila Permohonan diajukan oleh Pemohon yang bukan Inventor,
Permohonan tersebut harus disertai pernyataan yang dilengkapi bukti
yang cukup bahwa ia berhak atas Invensi yang bersangkutan.
(2) Inventor dapat meneliti surat Permohonan yang diajukan oleh
Pemohon yang bukan Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
atas biayanya sendiri dapat meminta salinan dokumen Permohonan
tersebut.
Pasal 24
(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
kepada Direktorat Jenderal.
(2) Permohonan harus memuat:
a. tanggal, bulan, dan tahun Permohonan;
b. alamat lengkap dan alamat jelas Pemohon;
c. nama lengkap dan kewarganegaraan Inventor;
d. nama dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui
Kuasa;
e. surat kuasa khusus, dalam hal Permohonan diajukan oleh Kuasa;
f. pernyataan permohonan untuk dapat diberi Paten;
g. judul Invensi;
h. klaim yang terkandung dalam Invensi;
i. deskripsi tentang Invensi, yang secara lengkap memuat keterangan
tentang cara melaksanakan Invensi;
j. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan
k. untuk memperjelas Invensi; dan
l. abstrak Invensi.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pengajuan Permohonan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Konsultan Hak Kekayaan Intelektual
Pasal 25
(1) Permohonan dapat diajukan oleh Pemohon atau Kuasanya.
(2) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Konsultan Hak
Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal.
(3) Terhitung sejak tanggal penerimaan kuasanya, Kuasa wajib
menjaga kerahasiaan Invensi dan seluruh dokumen Permohonan sampai
dengan tanggal diumumkannya Permohonan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai
Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan
Pemerintah, sedangkan tata cara pengangkatannya diatur dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 26
(1) Permohonan yang diajukan oleh Inventor atau Pemohon yang tidak
bertempat tinggal atau tidak berkedudukan tetap di wilayah Negara
Republik Indonesia harus diajukan melalui Kuasanya di Indonesia.
(2) Inventor atau Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menyatakan dan memilih tempat tinggal atau kedudukan hukum di
Indonesia untuk kepentingan Permohonan tersebut.
Bagian Ketiga
Permohonan dengan Hak Prioritas
Pasal 27
(1) Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas sebagaimana diatur
dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property
harus diajukan paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak
tanggal penerimaan permohonan Paten yang pertama kali diterima di
negara mana pun yang juga ikut serta dalam konvensi tersebut atau
yang menjadi anggota Agreement Establishing the World Trade
Organization.
(2) Dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang ini
mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam Permohonan,
Permohonan dengan Hak Prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilengkapi dokumen prioritas yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang di negara yang bersangkutan paling lama 16 (enam belas)
bulan terhitung sejak tanggal prioritas.
(3) Apabila syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak dipenuhi, Permohonan tidak dapat diajukan dengan menggunakan
Hak Prioritas.
Pasal 28
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku secara
mutatis mutandis terhadap Permohonan yang menggunakan Hak
Prioritas.
(2) Direktorat Jenderal dapat meminta agar Permohonan yang diajukan
dengan menggunakan Hak Prioritas tersebut dilengkapi:
a. salinan sah surat-surat yang berkaitan dengan hasil
b. pemeriksaan substantif yang dilakukan terhadap permohonan Paten
yang pertama kali di luar negeri; salinan sah dokumen Paten yang
telah diberikan sehubungan dengan permohonan Paten yang pertama
kali di luar negeri;
c. salinan sah keputusan mengenai penolakan atas permohonan Paten
yang pertama kali di luar negeri bilamana permohonan Paten
tersebut ditolak;
d. salinan sah keputusan pembatalan Paten yang bersangkutan yang
pernah dikeluarkan di luar negeri bilamana Paten tersebut pernah
dibatalkan;
e. dokumen lain yang diperlukan untuk mempermudah penilaian bahwa
Invensi yang dimintakan Paten memang merupakan Invensi baru dan
benar-benar mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan
dalam industri.
(3) Penyampaian salinan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat disertai tambahan penjelasan secara terpisah oleh
Pemohon.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan bukti Hak Prioritas dari
Direktorat Jenderal dan Permohonan yang diajukan dengan Hak
Prioritas diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian Keempat
Waktu Penerimaan Permohonan
Pasal 30
(1) Tanggal Penerimaan adalah tanggal Direktorat Jenderal menerima
surat Permohonan yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, huruf b, huruf f,
huruf h, dan huruf i, serta huruf j jika Permohonan tersebut
dilampiri gambar, serta setelah dibayarnya biaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Dalam hal deskripsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(2) huruf h dan huruf i ditulis dalam bahasa Inggris, deskripsi
tersebut harus dilengkapi dengan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia dan harus disampaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak Tanggal Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila terjemahan dalam bahasa Indonesia tidak diserahkan
dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali.
(3) Tanggal Penerimaan dicatat oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 31
Dalam hal terdapat kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2), Tanggal Penerimaan adalah tanggal
diterimanya seluruh persyaratan minimum tersebut oleh Direktorat
Jenderal.
Pasal 32
(1) Apabila ternyata syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 telah dipenuhi, tetapi ketentuan-ketentuan lain dalam Pasal 24
belum dipenuhi, Direktorat Jenderal meminta agar kelengkapan
tersebut dipenuhi paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal pengiriman permintaan pemenuhan seluruh persyaratan
tersebut oleh Direktorat Jenderal.
(2) Berdasarkan alasan yang disetujui oleh Direktorat Jenderal,
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
paling lama 2 (dua) bulan atas permintaan Pemohon.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya jangka
waktu tersebut dengan ketentuan bahwa Pemohon dikenai biaya.
Pasal 33
Apabila seluruh persyaratan dengan batas jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 tidak dipenuhi, Direktorat Jenderal
memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon bahwa Permohonan
dianggap ditarik kembali.
Pasal 34
(1) Apabila untuk satu Invensi yang sama ternyata diajukan lebih
dari satu Permohonan oleh Pemohon yang berbeda, Permohonan yang
diajukan pertama yang dapat diterima.
(2) Apabila beberapa Permohonan untuk Invensi yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan pada tanggal yang sama, Direktorat
Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada para Pemohon untuk
berunding guna memutuskan Permohonan mana yang diajukan dan
menyampaikan hasil keputusan itu kepada Direktorat Jenderal paling
lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman
pemberitahuan tersebut.
(3) Apabila tidak tercapai persetujuan atau keputusan di antara
para Pemohon, tidak dimungkinkan dilakukannya perundingan, atau
hasil perundingan tidak disampaikan kepada Direktorat Jenderal
dalam waktu yang ditentukan pada ayat (2), Permohonan itu ditolak
dan Direktorat Jenderal memberitahukan penolakan tersebut secara
tertulis kepada para Pemohon.
Bagian Kelima
Perubahan Permohonan
Pasal 35
Permohonan dapat diubah dengan cara mengubah deskripsi dan/atau
klaim dengan ketentuan bahwa perubahan tersebut tidak memperluas
lingkup Invensi yang telah diajukan dalam Permohonan semula.
Pasal 36
(1) Pemohon dapat mengajukan pemecahan Permohonan semula apabila
suatu Permohonan terdiri atas beberapa Invensi yang tidak merupakan
satu kesatuan Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Permohonan pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan secara terpisah dalam satu Permohonan atau lebih dengan
ketentuan bahwa lingkup perlindungan yang dimohonkan dalam setiap
Permohonan tersebut tidak memperluas lingkup perlindungan yang
telah diajukan dalam Permohonan semula.
(3) Permohonan pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan paling lama sebelum Permohonan semula tersebut diberi
keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) atau Pasal
56 ayat (1).
(4) Permohonan pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dan Pasal 24, dianggap diajukan pada tanggal yang
sama dengan Tanggal Penerimaan semula.
(5) Dalam hal Pemohon tidak mengajukan Permohonan pemecahan dalam
batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemeriksaan
substantif atas Permohonan hanya dilakukan terhadap Invensi
sebagaimana dinyatakan dalam urutan klaim yang pertama dalam
Permohonan semula.
Pasal 37
Permohonan dapat diubah dari Paten menjadi Paten Sederhana atau
sebaliknya oleh Pemohon dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam
Undang-undang ini.
Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 diatur dengan Keputusan
Presiden.
Bagian Keenam
Penarikan Kembali Permohonan
Pasal 39
(1) Permohonan dapat ditarik kembali oleh Pemohon dengan
mengajukannya secara tertulis kepada Direktorat Jenderal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penarikan kembali Permohonan
diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian Ketujuh
Larangan Mengajukan Permohonan dan
Kewajiban Menjaga Kerahasiaan
Pasal 40
Selama masih terikat dinas aktif hingga selama satu tahun sesudah
pensiun atau sesudah berhenti karena alasan apa pun dari Direktorat
Jenderal, pegawai Direktorat Jenderal atau orang yang karena
tugasnya bekerja untuk dan atas nama Direktorat Jenderal, dilarang
mengajukan Permohonan, memperoleh Paten, atau dengan cara apa pun
memperoleh hak atau memegang hak yang berkaitan dengan Paten,
kecuali apabila pemilikan Paten itu diperoleh karena pewarisan.
Pasal 41
Terhitung sejak Tanggal Penerimaan, seluruh aparat Direktorat
Jenderal atau orang yang karena tugasnya terkait dengan tugas
Direktorat Jenderal wajib menjaga kerahasiaan Invensi dan seluruh
dokumen Permohonan sampai dengan tanggal diumumkannya Permohonan
yang bersangkutan.
BAB IV
PENGUMUMAN DAN PEMERIKSAAN SUBSTANTIF
Bagian Pertama
Pengumuman Permohonan
Pasal 42
(1) Direktorat Jenderal mengumumkan Permohonan yang telah memenuhi
ketentuan Pasal 24.
(2) Pengumuman dilakukan:
a. dalam hal Paten, segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak
Tanggal Penerimaan atau segera setelah 18 (delapan belas) bulan
sejak tanggal prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak
Prioritas; atau
b. dalam hal Paten Sederhana, segera setelah 3 (tiga) bulan sejak
Tanggal Penerimaan.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat
dilakukan lebih awal atas permintaan Pemohon dengan dikenai biaya.
Pasal 43
(1) Pengumuman dilakukan dengan:
a. menempatkannya dalam Berita Resmi Paten yang diterbitkan secara
berkala oleh Direktorat Jenderal; dan/atau
b. menempatkannya pada sarana khusus yang disediakan oleh Direktorat
Jenderal yang dengan mudah serta jelas dapat dilihat oleh
masyarakat.
(2) Tanggal mulai diumumkannya Permohonan dicatat oleh Direktorat
Jenderal.
Pasal 44
(1) Pengumuman dilaksanakan selama:
a. 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diumumkannya Permohonan
Paten;
b. 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diumumkannya Permohonan
Paten Sederhana.
(2) Pengumuman dilakukan dengan mencantumkan:
a. nama dan kewarganegaraan Inventor;
b. nama dan alamat lengkap Pemohon dan Kuasa apabila Permohonan
diajukan melalui Kuasa;
c. judul Invensi;
d. Tanggal Penerimaan; dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak
Prioritas, tanggal prioritas, nomor, dan negara tempat Permohonan
yang pertama kali diajukan;
e. abstrak;
f. klasifikasi Invensi;
g. gambar, jika ada;
h. nomor pengumuman; dan
i. nomor Permohonan.
Pasal 45
(1) Setiap pihak dapat melihat pengumuman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 dan dapat mengajukan secara tertulis pandangan
dan/atau keberatannya atas Permohonan yang bersangkutan dengan
mencantumkan alasannya.
(2) Dalam hal terdapat pandangan dan/atau keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal segera mengirimkan
salinan surat yang berisikan pandangan dan/atau keberatan tersebut
kepada Pemohon.
(3) Pemohon berhak mengajukan secara tertulis sanggahan dan
penjelasan terhadap pandangan dan/atau keberatan tersebut kepada
Direktorat Jenderal.
(4) Direktorat Jenderal menggunakan pandangan dan/atau keberatan,
sanggahan, dan/atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3) sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam tahap
pemeriksaan substantif.
Pasal 46
(1) Setelah berkonsultasi dengan instansi Pemerintah yang tugas dan
wewenangnya berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara,
apabila diperlukan, Direktorat Jenderal dengan persetujuan Menteri
dapat menetapkan untuk tidak mengumumkan Permohonan apabila menurut
pertimbangannya, pengumuman Invensi tersebut diperkirakan akan
dapat mengganggu atau bertentangan dengan kepentingan pertahanan
keamanan Negara.
(2) Ketetapan untuk tidak mengumumkan Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh
Direktorat Jenderal kepada Pemohon atau Kuasanya.
(3) Konsultasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), termasuk penyampaian informasi mengenai
Invensi yang dimohonkan yang kemudian berakhir dengan ketetapan
tidak diumumkannya Permohonan, tidak dianggap sebagai pelanggaran
kewajiban untuk menjaga kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 dan Pasal 41.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap mewajibkan
instansi Pemerintah yang bersangkutan beserta aparatnya untuk tetap
menjaga kerahasiaan Invensi dan dokumen Permohonan yang
dikonsultasikan kepadanya terhadap pihak ketiga.
Pasal 47
(1) Terhadap Permohonan yang tidak diumumkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 dilakukan pemeriksaan substantif setelah 6 (enam)
bulan sejak tanggal penetapan Direktorat Jenderal mengenai tidak
diumumkannya Permohonan yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dikenai biaya.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Substantif
Pasal 48
(1) Permohonan pemeriksaan substantif diajukan secara tertulis
kepada Direktorat Jenderal dengan dikenai biaya.
(2) Tata cara dan syarat-syarat permohonan pemeriksaan substantif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 49
(1) Permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (1) diajukan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan
terhitung sejak Tanggal Penerimaan.
(2) Apabila permohonan pemeriksaan substantif tidak diajukan dalam
batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau biaya untuk itu
tidak dibayar, Permohonan dianggap ditarik kembali.
(3) Direktorat Jenderal memberitahukan secara tertulis Permohonan
yang dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada Pemohon atau Kuasanya.
(4) Apabila permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu pengumuman
yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pemeriksaan itu dilakukan
setelah berakhirnya jangka waktu pengumuman.
(5) Apabila permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan setelah berakhirnya jangka waktu pengumuman
yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pemeriksaan substantif
dilakukan setelah tanggal diterimanya permohonan pemeriksaan
substantif tersebut.
Pasal 50
(1) Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Direktorat Jenderal
dapat meminta bantuan ahli dan/atau menggunakan fasilitas yang
diperlukan dari instansi Pemerintah terkait atau Pemeriksa Paten
dari kantor Paten negara lain.
(2) Penggunaan bantuan ahli, fasilitas, atau Pemeriksa Paten dari
kantor Paten negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap
dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk
menjaga kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal
41.
Pasal 51
(1) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa.
(2) Pemeriksa pada Direktorat Jenderal berkedudukan sebagai pejabat
fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Kepada Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
jenjang dan tunjangan fungsional di samping hak-hak lainnya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 52
(1) Apabila Pemeriksa melaporkan bahwa Invensi yang dimintakan
Paten terdapat ketidakjelasan atau kekurangan lain yang dinilai
penting, Direktorat Jenderal memberitahukan secara tertulis adanya
ketidakjelasan atau kekurangan tersebut kepada Pemohon atau
Kuasanya guna meminta tanggapan atau kelengkapan atas kekurangan
tersebut.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas
dan rinci serta mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau
kekurangan lain yang dinilai penting dengan disertai alasan dan
acuan yang digunakan dalam pemeriksaan substantif, berikut jangka
waktu pemenuhannya.
Pasal 53
Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (1) Pemohon tidak memberikan tanggapan, atau tidak memenuhi
kelengkapan persyaratan, atau tidak melakukan perbaikan terhadap
Permohonan yang telah diajukannya dalam waktu yang telah ditentukan
Direktorat Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2),
Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali dan diberitahukan
secara tertulis kepada Pemohon.
Bagian Ketiga
Persetujuan atau Penolakan Permohonan
Pasal 54
Direktorat Jenderal berkewajiban memberikan keputusan untuk
menyetujui atau menolak Permohonan:
a. Paten, paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak
tanggal diterimanya surat permohonan pemeriksaan substantif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 atau terhitung sejak
berakhirnya jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (1) apabila permohonan pemeriksaan itu diajukan
sebelum berakhirnya jangka waktu pengumuman tersebut.
b. Paten Sederhana, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak
Tanggal Penerimaan.
Pasal 55
(1) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh
Pemeriksa menyimpulkan bahwa Invensi tersebut memenuhi ketentuan
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, dan ketentuan lain dalam
Undang-undang ini, Direktorat Jenderal memberikan Sertifikat Paten
kepada Pemohon atau Kuasanya.
(2) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh
Pemeriksa menyimpulkan bahwa Invensi tersebut memenuhi ketentuan
dalam Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, dan ketentuan lain dalam
Undang-undang ini, Direktorat Jenderal memberikan Sertifikat Paten
Sederhana kepada Pemohon atau Kuasanya.
(3) Paten yang telah diberikan dicatat dan diumumkan, kecuali Paten
yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara.
(4) Direktorat Jenderal dapat memberikan salinan dokumen Paten
kepada pihak yang memerlukannya dengan membayar biaya, kecuali
Paten yang tidak diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
Pasal 56
(1) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh
Pemeriksa menunjukkan bahwa Invensi yang dimohonkan Paten tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 35, Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2),
atau yang dikecualikan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7,
Direktorat Jenderal menolak Permohonan tersebut dan memberitahukan
penolakan itu secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya.
(2) Direktorat Jenderal juga dapat menolak Permohonan yang dipecah
jika pemecahan tersebut memperluas lingkup Invensi atau diajukan
setelah lewat batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat
(2) atau Pasal 36 ayat (3).
(3) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh
Pemeriksa menunjukkan bahwa Invensi yang dimohonkan Paten tidak
memenuhi ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2), Direktorat Jenderal
menolak sebagian dari Permohonan tersebut dan memberitahukannya
secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya.
(4) Surat pemberitahuan penolakan Permohonan harus dengan jelas
mencantumkan alasan dan pertimbangan yang menjadi dasar penolakan.
Pasal 57
(1) Sertifikat Paten merupakan bukti hak atas Paten.
(2) Surat penolakan dicatat oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 58
Paten mulai berlaku pada tanggal diberikan Sertifikat Paten dan
berlaku surut sejak Tanggal Penerimaan.
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Sertifikat Paten, bentuk
dan isinya, dan ketentuan lain mengenai pencatatan serta Permohonan
salinan dokumen Paten diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Permohonan Banding
Pasal 60
(1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap penolakan Permohonan
yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai
hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 ayat (1) atau Pasal 56 ayat (3).
(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau
Kuasanya kepada Komisi Banding Paten dengan tembusan yang
disampaikan kepada Direktorat Jenderal.
(3) Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap
keberatan serta alasannya terhadap penolakan Permohonan sebagai
hasil pemeriksaan substantif.
(4) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak merupakan
alasan atau penjelasan baru sehingga memperluas lingkup Invensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
Pasal 61
(1) Permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) bulan
terhitung sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan penolakan
Permohonan.
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah
lewat tanpa adanya permohonan banding, penolakan Permohonan
dianggap diterima oleh Pemohon.
(3) Dalam hal penolakan Permohonan telah dianggap diterima
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Jenderal mencatat
dan mengumumkannya.
Pasal 62
(1) Banding mulai diperiksa oleh Komisi Banding paling lama 1
(satu) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan banding.
(2) Keputusan Komisi Banding ditetapkan paling lama 9 (sembilan)
bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Dalam hal Komisi Banding menerima dan menyetujui permohonan
banding, Direktorat Jenderal wajib melaksanakan keputusan Komisi
Banding.
(4) Dalam hal Komisi Banding menolak permohonan banding, Pemohon
atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas keputusan tersebut ke
Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung
sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut.
(5) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
hanya dapat diajukan kasasi.
Pasal 63
Tata cara permohonan, pemeriksaan, serta penyelesaian banding
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Bagian Kelima
Komisi Banding Paten
Pasal 64
(1) Komisi Banding Paten adalah badan khusus yang independen dan
berada di lingkungan departemen yang membidangi Hak Kekayaan
Intelektual.
(2) Komisi Banding Paten terdiri atas seorang ketua merangkap
anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang
terdiri atas beberapa ahli di bidang yang diperlukan serta
Pemeriksa senior.
(3) Anggota Komisi Banding Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga)
tahun.
(4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Komisi
Banding Paten.
(5) Untuk memeriksa permohonan banding, Komisi Banding Paten
membentuk majelis yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak
melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
Pasal 65
Susunan organisasi, tugas dan fungsi Komisi Banding Paten diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PENGALIHAN DAN LISENSI PATEN
Bagian Pertama
Pengalihan
Pasal 66
(1) Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun
sebagian karena:
a. pewarisan;
b. hibah;
c. wasiat;
d. perjanjian tertulis; atau
e. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf b, dan huruf c, harus disertai dokumen asli Paten berikut hak
lain yang berkaitan dengan Paten itu.
(3) Segala bentuk pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya.
(4) Pengalihan Paten yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal ini
tidak sah dan batal demi hukum.
(5) Syarat dan tata cara pencatatan pengalihan Paten diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 67
(1) Kecuali dalam hal pewarisan, hak sebagai pemakai terdahulu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak dapat dialihkan.
(2) Pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatat
dan diumumkan dengan dikenai biaya.
Pasal 68
Pengalihan hak tidak menghapus hak Inventor untuk tetap dicantumkan
nama dan identitasnya dalam Paten yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Lisensi
Pasal 69
(1) Pemegang Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain
berdasarkan perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
(2) Kecuali jika diperjanjikan lain, lingkup Lisensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 berlangsung selama jangka waktu Lisensi
diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia.
Pasal 70
Kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Paten tetap boleh melaksanakan
sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk
melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
Pasal 71
(1) Perjanjian Lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung
maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia
atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia
dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang
berkaitan dengan Invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya.
(2) Permohonan pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditolak oleh Direktorat
Jenderal.
Pasal 72
(1) Perjanjian Lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai
biaya.
(2) Dalam hal perjanjian Lisensi tidak dicatat di Direktorat
Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian Lisensi
tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.
Pasal 73
Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian Lisensi diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Lisensi-wajib
Pasal 74
Lisensi-wajib adalah Lisensi untuk melaksanakan Paten yang
diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal atas dasar
permohonan.
Pasal 75
(1) Setiap pihak dapat mengajukan permohonan lisensi-wajib kepada
Direktorat Jenderal untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan
setelah lewat jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung
sejak tanggal pemberian Paten dengan membayar biaya.
(2) Permohonan lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan dengan alasan bahwa Paten yang bersangkutan
tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia
oleh Pemegang Paten.
(3) Permohonan lisensi-wajib dapat pula diajukan setiap saat
setelah Paten diberikan atas alasan bahwa Paten telah dilaksanakan
oleh Pemegang Paten atau Penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan
cara yang merugikan kepentingan masyarakat.
Pasal 76
(1) Selain kebenaran alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
ayat (2), lisensi-wajib hanya dapat diberikan apabila:
a. Pemohon dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa ia:
1. mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri Paten yang
bersangkutan secara penuh;
2. mempunyai sendiri fasilitas untuk melaksanakan Paten yang
bersangkutan dengan secepatnya; dan
3. telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang
cukup untuk mendapatkan Lisensi dari Pemegang Paten atas dasar
persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak memperoleh hasil;
dan
b. Direktorat Jenderal berpendapat bahwa Paten tersebut dapat
dilaksanakan di Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat
memberikan manfaat kepada sebagian besar masyarakat.
(2) Pemeriksaan atas permohonan lisensi-wajib dilakukan oleh
Direktorat Jenderal dengan mendengarkan pula pendapat dari instansi
dan pihak-pihak terkait, serta Pemegang Paten bersangkutan.
(3) Lisensi-wajib diberikan untuk jangka waktu yang tidak lebih
lama daripada jangka waktu perlindungan Paten.
Pasal 77
Apabila berdasarkan bukti serta pendapat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 Direktorat Jenderal memperoleh keyakinan bahwa jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) belum cukup bagi
Pemegang Paten untuk melaksanakannya secara komersial di Indonesia
atau dalam lingkup wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(2), Direktorat Jenderal dapat menunda keputusan pemberian
lisensi-wajib tersebut untuk sementara waktu atau menolaknya.
Pasal 78
(1) Pelaksanaan lisensi-wajib disertai pembayaran royalti oleh
penerima lisensi-wajib kepada Pemegang Paten.
(2) Besarnya royalti yang harus dibayarkan dan cara pembayarannya
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal.
(3) Penetapan besarnya royalti dilakukan dengan memperhatikan tata
cara yang lazim digunakan dalam perjanjian Lisensi Paten atau
perjanjian lain yang sejenis.
Pasal 79
Keputusan Direktorat Jenderal mengenai pemberian lisensi-wajib,
memuat hal-hal sebagai berikut:
a. lisensi-wajib bersifat non-eksklusif;
b. alasan pemberian lisensi-wajib;
c. bukti, termasuk keterangan atau penjelasan yang diyakini untuk
dijadikan dasar pemberian lisensi-wajib;
d. jangka waktu lisensi-wajib;
e. besarnya royalti yang harus dibayarkan penerima lisensi-wajib
kepada Pemegang Paten dan cara pembayarannya;
f. syarat berakhirnya lisensi-wajib dan hal yang dapat
membatalkannya;
g. lisensi-wajib terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar di
dalam negeri; dan
h. lain-lain yang diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak
yang bersangkutan secara adil.
Pasal 80
(1) Direktorat Jenderal mencatat dan mengumumkan pemberian
lisensi-wajib.
(2) Pelaksanaan lisensi-wajib dianggap sebagai pelaksanaan Paten.
Pasal 81
Keputusan pemberian lisensi-wajib dilakukan oleh Direktorat
Jenderal paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak diajukannya
permohonan lisensi-wajib yang bersangkutan.
Pasal 82
(1) Lisensi-wajib dapat pula sewaktu-waktu dimintakan oleh Pemegang
Paten atas alasan bahwa pelaksanaan Patennya tidak mungkin dapat
dilakukan tanpa melanggar Paten lain yang telah ada.
(2) Permohonan lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dipertimbangkan apabila Paten yang akan dilaksanakan
benar-benar mengandung unsur pembaharuan yang nyata-nyata lebih
maju dari pada Paten yang telah ada tersebut.
(3) Dalam hal lisensi-wajib diajukan atas dasar alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2):
a. Pemegang Paten berhak untuk saling memberikan Lisensi untuk
menggunakan Paten pihak lainnya berdasarkan persyaratan yang
wajar.
b. Penggunaan Paten oleh penerima Lisensi tidak dapat dialihkan
kecuali bila dialihkan bersama-sama dengan Paten lain.
(4) Untuk pengajuan permohonan lisensi-wajib kepada Direktorat
Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku
ketentuan Bab V Bagian Ketiga Undang-undang ini, kecuali ketentuan
mengenai jangka waktu pengajuan permohonan lisensi-wajib
sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (1).
Pasal 83
(1) Atas permohonan Pemegang Paten, Direktorat Jenderal dapat
membatalkan keputusan pemberian lisensi-wajib sebagaimana dimaksud
dalam Bab V Bagian Ketiga Undang-undang ini apabila:
a. alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian lisensi-wajib tidak ada
lagi;
b. penerima lisensi-wajib ternyata tidak melaksanakan lisensi-wajib
tersebut atau tidak melakukan usaha persiapan yang sepantasnya
untuk segera melaksanakannya;
c. penerima lisensi-wajib tidak lagi mentaati syarat dan ketentuan
lainnya termasuk pembayaran royalti yang ditetapkan dalam
pemberian lisensi-wajib.
(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan
diumumkan.
Pasal 84
(1) Dalam hal lisensi-wajib berakhir karena selesainya jangka waktu
yang ditetapkan atau karena pembatalan, penerima lisensi-wajib
menyerahkan kembali lisensi yang diperolehnya.
(2) Direktorat Jenderal mencatat dan mengumumkan lisensi-wajib yang
telah berakhir.
Pasal 85
Berakhirnya lisensi-wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 atau
Pasal 84 berakibat pulihnya hak Pemegang atas Paten yang
bersangkutan terhitung sejak tanggal pencatatannya.
Pasal 86
(1) Lisensi-wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan.
(2) Lisensi-wajib yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh
syarat pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka
waktu, dan harus dilaporkan kepada Direktorat Jenderal untuk
dicatat dan diumumkan.
Pasal 87
Ketentuan lebih lanjut mengenai lisensi-wajib diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PEMBATALAN PATEN
Bagian Pertama
Batal Demi Hukum
Pasal 88
Paten dinyatakan batal demi hukum apabila Pemegang Paten tidak
memenuhi kewajiban membayar biaya tahunan dalam jangka waktu yang
ditentukan dalam Undang-undang ini.
Pasal 89
(1) Paten yang batal demi hukum diberitahukan secara tertulis oleh
Direktorat Jenderal kepada Pemegang Paten serta penerima Lisensi
dan mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan tersebut.
(2) Paten yang dinyatakan batal dengan alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88 dicatat dan diumumkan.
Bagian Kedua
Batal atas Permohonan Pemegang Paten
Pasal 90
(1) Paten dapat dibatalkan oleh Direktorat Jenderal untuk seluruh
atau sebagian atas permohonan Pemegang Paten yang diajukan secara
tertulis kepada Direktorat Jenderal.
(2) Pembatalan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dilakukan jika penerima Lisensi tidak memberikan persetujuan secara
tertulis yang dilampirkan pada permohonan pembatalan tersebut.
(3) Keputusan pembatalan Paten diberitahukan secara tertulis oleh
Direktorat Jenderal kepada penerima Lisensi.
(4) Keputusan pembatalan Paten karena alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dicatat dan diumumkan.
(5) Pembatalan Paten berlaku sejak tanggal ditetapkannya keputusan
Direktorat Jenderal mengenai pembatalan tersebut.
Bagian Ketiga
Batal Berdasarkan Gugatan
Pasal 91
(1) Gugatan pembatalan Paten dapat dilakukan apabila:
a. Paten tersebut menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 6, atau Pasal 7 seharusnya tidak diberikan;
b. Paten tersebut sama dengan Paten lain yang telah diberikan kepada
pihak lain untuk Invensi yang sama berdasarkan Undang-undang ini;
c. pemberian lisensi-wajib ternyata tidak mampu mencegah
berlangsungnya pelaksanaan Paten dalam bentuk dan cara yang
merugikan kepentingan masyarakat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sejak tanggal pemberian lisensi-wajib yang bersangkutan atau sejak
tanggal pemberian lisensi-wajib pertama dalam hal diberikan
beberapa lisensi-wajib.
(2) Gugatan pembatalan karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a diajukan oleh pihak ketiga kepada Pemegang Paten
melalui Pengadilan Niaga.
(3) Gugatan pembatalan karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dapat diajukan oleh Pemegang Paten atau penerima
Lisensi kepada Pengadilan Niaga agar Paten lain yang sama dengan
Patennya dibatalkan.
(4) Gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dapat diajukan oleh jaksa terhadap Pemegang Paten atau penerima
lisensi-wajib kepada Pengadilan Niaga.
Pasal 92
Jika gugatan pembatalan Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91
hanya mengenai satu atau beberapa klaim atau bagian dari klaim,
pembatalan dilakukan hanya terhadap klaim yang pembatalannya
digugat.
Pasal 93
(1) Isi putusan Pengadilan Niaga tentang pembatalan Paten
disampaikan ke Direktorat Jenderal paling lama 14 (empat belas)
hari sejak putusan diucapkan.
(2) Direktorat Jenderal mencatat dan mengumumkan putusan tentang
pembatalan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 94
Tata cara gugatan sebagaimana dimaksud dalam Bab XII Undang-undang
ini berlaku secara mutatis mutandis terhadap Pasal 91 dan Pasal 92.
Bagian Keempat
Akibat Pembatalan Paten
Pasal 95
Pembatalan Paten menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan
dengan Paten dan hal-hal lain yang berasal dari Paten tersebut.
Pasal 96
Kecuali jika ditentukan lain dalam putusan Pengadilan Niaga, Paten
batal untuk seluruh atau sebagian sejak tanggal putusan pembatalan
tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 97
(1) Penerima Lisensi dari Paten yang dibatalkan karena alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf b tetap berhak
melaksanakan Lisensi yang dimilikinya sampai dengan berakhirnya
jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian Lisensi.
(2) Penerima Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib
meneruskan pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib dilakukan
kepada Pemegang Paten yang Patennya dibatalkan, tetapi mengalihkan
pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu Lisensi yang dimilikinya
kepada Pemegang Paten yang berhak.
(3) Dalam hal Pemegang Paten sudah menerima sekaligus royalti dari
penerima Lisensi, Pemegang Paten tersebut wajib mengembalikan
jumlah royalti yang sesuai dengan sisa jangka waktu penggunaan
Lisensi kepada Pemegang Paten yang berhak.
Pasal 98
(1) Lisensi dari Paten yang dinyatakan batal oleh sebab-sebab
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf b yang
diperoleh dengan iktikad baik, sebelum diajukan gugatan pembatalan
atas Paten yang bersangkutan, tetap berlaku terhadap Paten lain.
(2) Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku dengan
ketentuan bahwa penerima Lisensi tersebut untuk selanjutnya tetap
wajib membayar royalti kepada Pemegang Paten yang tidak dibatalkan,
yang besarnya sama dengan jumlah yang dijanjikan sebelumnya kepada
Pemegang Paten yang Patennya dibatalkan.
BAB VII
PELAKSANAAN PATEN OLEH PEMERINTAH
Pasal 99
(1) Apabila Pemerintah berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia
sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan
kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah
dapat melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan.
(2) Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten ditetapkan
dengan Keputusan Presiden setelah Presiden mendengarkan
pertimbangan Menteri dan menteri atau pimpinan instansi yang
bertanggung jawab di bidang terkait.
Pasal 100
(1) Ketentuan Pasal 99 berlaku secara mutatis mutandis bagi Invensi
yang dimohonkan Paten, tetapi tidak diumumkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46.
(2) Dalam hal Pemerintah tidak atau belum bermaksud untuk
melaksanakan sendiri Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pelaksanaan Paten serupa itu hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan Pemerintah.
(3) Pemegang Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebaskan
dari kewajiban pembayaran biaya tahunan sampai dengan Paten
tersebut dapat dilaksanakan.
Pasal 101
(1) Dalam hal Pemerintah bermaksud melaksanakan suatu Paten yang
penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan bagi kebutuhan
sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah
memberitahukan secara tertulis hal tersebut kepada Pemegang Paten
dengan mencantumkan:
a. Paten yang dimaksudkan disertai nama Pemegang Paten dan nomornya;
b. alasan;
c. jangka waktu pelaksanaan;
d. hal-hal lain yang dipandang penting.
(2) Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah dilakukan dengan pemberian
imbalan yang wajar kepada Pemegang Paten.
Pasal 102
(1) Keputusan Pemerintah bahwa suatu Paten akan dilaksanakan
sendiri oleh Pemerintah bersifat final.
(2) Dalam hal Pemegang Paten tidak setuju terhadap besarnya imbalan
yang ditetapkan oleh Pemerintah, ketidaksetujuan tersebut dapat
diajukan dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga.
(3) Proses pemeriksaan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menghentikan pelaksanaan Paten oleh Pemerintah.
Pasal 103
Tata cara pelaksanaan Paten oleh Pemerintah diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VIII
PATEN SEDERHANA
Pasal 104
Semua ketentuan yang diatur di dalam Undang-undang ini berlaku
secara mutatis mutandis untuk Paten Sederhana, kecuali yang secara
tegas tidak berkaitan dengan Paten Sederhana.
Pasal 105
(1) Paten Sederhana hanya diberikan untuk satu Invensi.
(2) Permohonan pemeriksaan substantif atas Paten Sederhana dapat
dilakukan bersamaan dengan pengajuan Permohonan atau paling lama 6
(enam) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan dengan dikenai
biaya.
(3) Apabila permohonan pemeriksaan substantif tidak dilakukan dalam
batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau biaya untuk itu
tidak dibayar, Permohonan dianggap ditarik kembali.
(4) Terhadap Permohonan Paten Sederhana, pemeriksaan substantif
dilakukan setelah berakhir jangka waktu pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf b.
Pasal 106
(1) Paten Sederhana yang diberikan oleh Direktorat Jenderal dicatat
dan diumumkan.
(2) Sebagai bukti hak, kepada Pemegang Paten Sederhana diberikan
Sertifikat Paten Sederhana.
Pasal 107
Paten Sederhana tidak dapat dimintakan lisensi-wajib.
Pasal 108
Ketentuan lebih lanjut mengenai Paten Sederhana diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PERMOHONAN MELALUI PATENT COOPERATION TREATY
(TRAKTAT KERJA SAMA PATEN)
Pasal 109
(1) Permohonan dapat diajukan melalui Patent Cooperation Treaty.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
ADMINISTRASI PATEN
Pasal 110
Penyelenggaraan administrasi Paten sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal dengan
memperhatikan kewenangan instansi lain sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini.
Pasal 111
Direktorat Jenderal menyelenggarakan dokumentasi dan pelayanan
informasi Paten dengan membentuk suatu sistem dokumentasi dan
jaringan informasi Paten yang bersifat nasional sehingga mampu
menyediakan informasi seluas mungkin kepada masyarakat mengenai
teknologi yang diberi Paten.
Pasal 112
Dalam melaksanakan administrasi Paten, Direktorat Jenderal
memperoleh pembinaan dari dan bertanggung jawab kepada Menteri.
BAB XI
B I A Y A
Pasal 113
(1) Semua biaya yang wajib dibayar dalam Undang-undang ini
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, jangka waktu, dan tata
cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Keputusan Presiden.
(3) Direktorat Jenderal dengan persetujuan Menteri dan Menteri
Keuangan dapat menggunakan penerimaan yang berasal dari biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 114
(1) Pembayaran biaya tahunan untuk pertama kali harus dilakukan
paling lambat setahun terhitung sejak tanggal pemberian Paten.
(2) Untuk pembayaran tahun-tahun berikutnya, selama Paten itu
berlaku harus dilakukan paling lambat pada tanggal yang sama dengan
tanggal pemberian Paten atau pencatatan Lisensi yang bersangkutan.
(3) Pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung sejak tahun pertama Permohonan.
Pasal 115
(1) Apabila selama 3 (tiga) tahun berturut-turut Pemegang Paten
tidak membayar biaya tahunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18
dan Pasal 114, Paten dinyatakan batal demi hukum terhitung sejak
tanggal akhir batas waktu kewajiban pembayaran untuk tahun ketiga
tersebut.
(2) Apabila kewajiban pembayaran biaya tahunan tersebut berkaitan
dengan kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun kedelapan
belas dan untuk tahun-tahun berikutnya tidak dipenuhi, Paten
dianggap batal demi hukum pada akhir batas waktu kewajiban
pembayaran biaya tahunan untuk tahun tersebut.
(3) Batalnya Paten karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dicatat dan diumumkan.
Pasal 116
(1) Kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3)
dan Pasal 115 ayat (2), atas keterlambatan pembayaran biaya tahunan
dari batas waktu yang ditentukan dalam Undang-undang ini dikenai
biaya tambahan sebesar 2,5% (dua setengah perseratus) untuk setiap
bulan dari biaya tahunan pada tahun keterlambatan.
(2) Keterlambatan pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Direktorat
Jenderal kepada Pemegang Paten yang bersangkutan paling lama 7
(tujuh) hari setelah lewat batas waktu yang ditentukan.
(3) Tidak diterimanya surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) oleh yang bersangkutan tidak mengurangi berlakunya
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 117
(1) Jika suatu Paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang
berhak berdasarkan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, pihak yang
berhak atas Paten tersebut dapat menggugat kepada Pengadilan Niaga.
(2) Hak menggugat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku surut
sejak Tanggal Penerimaan.
(3) Pemberitahuan isi putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada para pihak oleh Pengadilan Niaga
paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan
diucapkan.
(3) Isi putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat dan
diumumkan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 118
(1) Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan
ganti rugi kepada Pengadilan Niaga setempat terhadap siapa pun yang
dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16.
(2) Gugatan ganti rugi yang diajukan terhadap perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diterima apabila produk atau
proses itu terbukti dibuat dengan menggunakan Invensi yang telah
diberi Paten.
(3) Isi putusan Pengadilan Niaga tentang gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktorat Jenderal
paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal putusan diucapkan
untuk dicatat dan diumumkan.
Pasal 119
(1) Dalam hal pemeriksaan gugatan terhadap Paten-proses, kewajiban
pembuktian bahwa suatu produk tidak dihasilkan dengan menggunakan
Paten-proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b
dibebankan kepada pihak tergugat apabila:
a. produk yang dihasilkan melalui Paten-proses tersebut merupakan
produk baru;
b. produk tersebut diduga merupakan hasil dari Paten-proses dan
sekalipun telah dilakukan upaya pembuktian yang cukup untuk itu,
Pemegang Paten tetap tidak dapat menentukan proses apa yang
digunakan untuk menghasilkan produk tersebut.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan gugatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pengadilan berwenang:
a. memerintahkan kepada Pemegang Paten untuk terlebih dahulu
menyampaikan salinan Sertifikat Paten bagi proses yang
bersangkutan dan bukti awal yang menjadi dasar gugatannya; dan
b. memerintahkan kepada pihak tergugat untuk membuktikan bahwa produk
yang dihasilkannya tidak menggunakan Paten-proses tersebut.
(3) Dalam pemeriksaan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), pengadilan wajib mempertimbangkan kepentingan
tergugat untuk memperoleh perlindungan terhadap rahasia proses yang
telah diuraikannya dalam rangka pembuktian di persidangan.
Pasal 120
(1) Gugatan didaftarkan kepada Pengadilan Niaga dengan membayar
biaya gugatan.
(2) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah
pendaftaran gugatan, Pengadilan Niaga menetapkan hari sidang.
(3) Sidang pemeriksaan atas gugatan dimulai dalam waktu paling
lambat 60 (enam puluh) hari sejak pendaftaran gugatan.
Pasal 121
(1) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 14
(empat belas) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama
diselenggarakan.
(2) Putusan atas gugatan harus diucapkan paling lambat 180 (seratus
delapan puluh) hari setelah tanggal gugatan didaftarkan.
(3) Putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan
tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(4) Pengadilan Niaga wajib menyampaikan isi putusan kepada para
pihak yang tidak hadir paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
putusan diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum.
Pasal 122
Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal
121 ayat (3) hanya dapat diajukan kasasi.
Pasal 123
(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 diajukan
paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal diucapkan atau
diterimanya putusan yang dimohonkan kasasi dengan mendaftarkan
kepada pengadilan yang telah memutus gugatan tersebut.
(2) Panitera mendaftarkan permohonan kasasi pada tanggal permohonan
yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon kasasi diberikan
tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh panitera pada
tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.
(3) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera
dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal permohonan kasasi
didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Panitera wajib memberitahukan permohonan kasasi dan memori
kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pihak termohon
kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah memori kasasi diterima oleh
panitera.
(5) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada
panitera paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi
menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon
kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi
diterimanya.
(6) Panitera wajib mengirimkan berkas perkara kasasi yang
bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari
setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas perkara kasasi dan
menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal
permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
(8) Sidang pemeriksaan atas berkas perkara kasasi dimulai dalam
jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal
berkas perkara kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
(9) Putusan kasasi harus diucapkan paling lama 180 (seratus delapan
puluh) hari setelah tanggal berkas perkara kasasi diterima oleh
Mahkamah Agung.
(10) Putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) yang memuat
secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut
harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
(11) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan isi putusan kasasi
kepada panitera Pengadilan Niaga paling lama 3 (tiga) hari setelah
tanggal putusan kasasi itu diucapkan.
(12) Juru sita wajib menyampaikan isi putusan kasasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (11) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi
paling lama 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima.
(13) Isi putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11)
disampaikan pula kepada Direktorat Jenderal paling lama 2 (dua)
hari sejak isi putusan kasasi diterima oleh Pengadilan Niaga untuk
dicatat dan diumumkan.
Pasal 124
Selain penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117,
para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui Arbitrase
atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
BAB XIII
PENETAPAN SEMENTARA PENGADILAN
Pasal 125
Atas permintaan pihak yang merasa dirugikan karena pelaksanaan
Paten, Pengadilan Niaga dapat menerbitkan surat penetapan yang
segera dan efektif untuk:
a. mencegah berlanjutnya pelanggaran Paten dan hak yang berkaitan
dengan Paten, khususnya mencegah masuknya barang yang diduga
melanggar Paten dan hak yang berkaitan dengan Paten ke dalam jalur
perdagangan termasuk tindakan importasi;
b. menyimpan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Paten dan hak
yang berkaitan dengan Paten tersebut guna menghindari terjadinya
penghilangan barang bukti;
c. meminta kepada pihak yang merasa dirugikan agar memberikan bukti
yang menyatakan bahwa pihak tersebut memang berhak atas Paten dan
hak yang berkaitan dengan Paten, serta hak Pemohon tersebut memang
sedang dilanggar.
Pasal 126
Dalam hal penetapan sementara tersebut telah dilakukan, para pihak
harus segera diberi tahu mengenai hal itu, termasuk mengenai hak
untuk didengar bagi pihak yang dikenai penetapan sementara
tersebut.
Pasal 127
Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan penetapan sementara,
Pengadilan Niaga harus memutuskan apakah mengubah, membatalkan,
atau menguatkan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
125 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
dikeluarkannya penetapan sementara tersebut.
Pasal 128
Dalam hal penetapan sementara dibatalkan, pihak yang merasa
dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang meminta
penetapan sementara atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh
penetapan tersebut.
BAB XIV
PENYIDIKAN
Pasal 129
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di departemen yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Hak Kekayaan
Intelektual diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Paten.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang Paten;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang Paten berdasarkan aduan
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. meminta keterangan dan barang bukti dari pihak yang terkait
sehubungan dengan tindak pidana di bidang Paten;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lainnya
yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang Paten;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat
barang bukti, pembukuan, catatan dan dokumen-dokumen lain, serta
melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran
yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
Paten; dan
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang Paten.
(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil
penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan
mengingat ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 130
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang
Paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Pasal 131
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang
Paten Sederhana dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 132
Barangsiapa dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), Pasal 40, dan Pasal 41 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 133
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130, Pasal 131, dan
Pasal 132 merupakan delik aduan.
Pasal 134
Dalam hal terbukti adanya pelanggaran Paten, hakim dapat
memerintahkan agar barang-barang hasil pelanggaran Paten tersebut
disita oleh Negara untuk dimusnahkan.
Pasal 135
Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab
ini adalah:
a. mengimpor suatu produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia
dan produk tersebut telah dimasukkan ke pasar di suatu negara oleh
Pemegang Paten yang sah dengan syarat produk itu diimpor sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. memproduksi produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya perlindungan
Paten dengan tujuan untuk proses perizinan kemudian melakukan
pemasaran setelah perlindungan Paten tersebut berakhir.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 136
Dengan berlakunya Undang-undang ini segala peraturan
perundang-undangan di bidang Paten yang telah ada pada tanggal
berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku selama tidak
bertentangan atau belum diganti dengan peraturan perundang-undangan
yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 137
Terhadap Permohonan yang diajukan sebelum diberlakukannya
Undang-undang ini, tetap diberlakukan Undang-undang Nomor 6 Tahun
1989 tentang Paten sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6
Tahun 1989 tentang Paten.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 138
Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Undang-undang Nomor 6
Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1989 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3398) dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3680) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 139
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MUHAMMAD M. BASYUNI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 109
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
ttd
Edy Sudibyo
Penjelasan


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More